Melawan Fobia - Kokar WIKA
Headlines News :
Home » » Melawan Fobia

Melawan Fobia

Written By Ining Pamuji Atmi on Minggu, 02 Mei 2010 | Minggu, Mei 02, 2010


Takut pada ular, sih, derita semua orang. Tetapi, ketakutan karena melihat buah-buahan, balon, atau ayam, rasanya, kok, tidak masuk akal. Apa yang menakutkan dari anak ayam yang lucu dan balon warna-warni? Untuk kita yang bebas fobia, mungkin merasa aneh jika melihat orang jejeritan setengah mati karena melihat pisang. Bagi, sang penderita, itu adalah siksaan berat!.

MENUNDUK, MENANGIS, BERTERIAK

Suatu hari di lokasi syuting, Donita (23), model dan pemain sinetron, kaget setengah mati. Dari jauh dia mendengar suara ambulans. Ia langsung menjerit dan lari ketakutan. Semua orang mengejarnya, dan Donita memasuki toilet. Tanpa sempat menutup pintunya, ia jongkok di salah satu pojok, menutup telinga dan wajah, air matanya pun bercucuran. Itu bukan adegan syuting, melainkan kenyataan bahwa Donita fobia pada ambulans. “Awalnya banyak orang tidak percaya. Tetapi, karena melihat saya benar-benar ketakutan, mereka jadi tahu fobia saya itu serius,” kata Donita.

Fobia itu menjadi keterbatasan bagi Donita. Ia pernah menolak mentah-mentah adegan ia harus duduk di dalam ambulans. “Dibayar berapa pun, saya nggak mau,” katanya, tegas. Ketakutannya yang berlebihan pada ambulans membuatnya tidak bisa mengendarai mobil sendiri. Suatu kali ia sedang menyetir, ambulans lewat di sampingnya. Donita refleks melepaskan tangan dari kemudi. Untunglah, ada orang lain di sebelahnya, yang segera mengambil alih setir. Sejak itu, ibunya melarang Donita membawa mobil.

Sherly Puspita yang akrab disapa Eyi (31), seorang penulis, punya fobia lain. Jika sedang makan, dan ia melihat pisang, perutnya mendadak mual. Apalagi, kalau pisang itu dikupas dan dimakan oleh orang di sebelahnya, Eyi benar-benar kehilangan selera makannya. Ia benar-benar terganggu dengan bentuk dan bau pisang. Maka, kalau ia sedang makan di restoran Padang, sebelum memesan makanan, terlebih dahulu ia akan memindahkan piring berisi pisang, ke meja lain. “Pernah juga saya paksakan tidak memindahkannya. Saya beranikan diri tetap makan semeja dengan pisang. Tapi, tanpa saya sadari, saya menunduk ketakutan sepanjang saya makan, karena menghindari melihat pisang,” kata Eyi, sambil tertawa.

Saking tak sanggup melawan rasa mual, Eyi sampai minta penger­tian teman-temannya. Ketika makan dengan teman sekantor, dan teman-temannya mengambil pisang sebagai pencuci mulut, ia akan meminta mereka menutupi buah itu dengan tisu. “Anehnya, saya tetap bisa makan pisang, jika bentuknya sudah berubah. Misalnya, dalam bentuk kolak atau sudah digoreng. Pokoknya, kalau aromanya sudah hilang,” kata Eyi lagi.
Tak hanya takut pada pisang, Eyi juga takut pada rambutan. “Saya benar-benar fobia berat pada rambutan. Tepatnya, pada bentuknya yang menyeramkan dan baunya,” kata Eyi. Banyak orang protes bahwa rambutan tak ada baunya. Hal itu disangkal Eyi. Bahkan, ia mengaku bisa mencium bau rambutan dari jarak jauh. Begitu masuk ruangan, ia bisa tahu di situ ada rambutan dari baunya, dan dugaannya selalu benar.

Suatu kali, di dapur rumah ibunya, Eyi melihat kulit dan biji rambutan berserakan. Ia kaget dan ketakutan, tapi tidak ada seorang pun yang bisa disuruh untuk membuangnya. “Karena saya jijik banget, maka saya beranikan diri untuk membuangnya. Saya menggunakan kertas koran, memunguti sampah itu, lalu memasukkan ke dalam plastik, dan membawanya keluar. Wah, saya benar-benar hampir menangis melakukannya,” kata Eyi. Sebegitu takutnya Eyi, sampai-sampai ia memilih turun dari kendaraan umum, karena ada penumpang membawa beberapa ikat rambutan.

Arzeti Bilbina (36), bintang iklan dan presenter, punya fobia yang banyak diderita orang: ketinggian. Namun, seberapa parah fobianya? “Kalau berada di ketinggian, kepala saya langsung pusing, perut mual, dan semua pikiran buruk langsung melintas, seperti mau jatuh dan sebagainya,” katanya. Ketinggian yang dimaksud Zeti adalah berada di eskalator yang tinggi sekali dan curam (di beberapa hing end mal di Jakarta), perosotan kolam renang dan area bermain (seperti Dunia Fantasi), di atas pesawat, bahkan saat mobil yang ditumpanginya akan meluncur dari jalan yang lebih tinggi.

Dia bukannya tak pernah melawan fobianya. Pertama, ketika berwisata di Dufan, ia maksa naik roller coaster. “Saya ketakutan luar biasa. Susah diceritakannya. Sejak itu, saya memilih tak mau mencoba permainan apa pun yang berhubungan dengan ketinggian,” kata Zeti, yang selalu bertugas menjaga tas, saat semua orang menikmati berbagai permainan di berbagai tempat wisata.

Namun, ia belum jera mencoba. Suatu kali, sehabis syuting di sebuah area kolam renang yang dilengkapi perosotan tinggi, suaminya membujuk Zeti mencoba. Anaknya pun merengek, ingin Zeti merosot bersamanya. “Begitu berada di tempat tinggi dan saya merosot, jantung saya rasanya sudah lepas dari tubuh saya. Saya berteriak-teriak sampai pembuluh darah di mata ada yang pecah. Lalu pusing luar biasa dan muntah-muntah,” kata Zeti. Sejak itu, ia benar-benar kapok untuk mencoba lagi melawan ketinggian.

FOBIA PEMBAWA MALU

Ada yang tahu dengan pasti penyebabnya, ada juga yang tidak jelas. Arzeti mengaku fobia ketinggian sejak kecil. Tetapi, ditanya penyebabnya, ia tak bisa memastikan. “Mungkin juga sejak saya hampir tenggelam di sungai, ketika berenang bersama teman-teman. Saat itu saya merasakan betapa seramnya hampir kehabisan napas. Sejak itu saya jadi penakut pada situasi yang menakutkan, dan bagi saya ketinggian itu menakutkan,” papar Zeti.

Donita bisa lebih jelas menerangkan penyebabnya. Bermula di masa kecil, sekitar usia 6 atau 7 tahun. Saat itu ia mengaku sering bisa melihat apa yang tidak dilihat orang. “Saya sering bisa melihat makhluk halus. Awalnya Mama tidak percaya, dan mengira saya hanya berimajinasi. Suatu hari, ketika saya membuat PR, saya kembali bercerita ada makhluk lain di sekitar kami. Untuk membuat Mama percaya, saya meminta makhluk itu mengangkat pensil saya ke atas, dan pensil saya itu melayang perlahan. Barulah Mama percaya,” kata Donita.

Sampai suatu hari, ia berkaryawisata bersama teman-teman sekolahnya ke sebuah museum. Di situ ada mobil ambulans, yang segera didekati sejumlah temannya, termasuk Donita. Tiba-tiba ia menangis dan berlari ketakutan, menjauhi ambulans. Sampai di rumah, Donita masih menangis tanpa suara, dengan wajah ketakutan. “Saya bercerita pada Mama, di ambulans itu saya melihat banyak orang terbaring dengan luka-luka mengerikan. Wajah dan tubuh mereka penuh darah. Sejak itu saya fobia pada ambulans,” katanya.

Sedangkan Eyi tak bisa menyebutkan dengan pasti, penyebab fobianya. “Mungkin, karena ibu saya pernah bercerita, ketika saya kecil, saya selalu muntah jika disuapi pisang. Begitu juga dengan rambutan. Hanya karena saya ingat, pernah ditakut-takuti ketika kecil. ’Hiii, ini buah ada rambutnya, seram, ’kan?’” kata Eyi.
Maka, Eyi sedapat mungkin menyembunyIkan fobianya dari anaknya (3,5 tahun), agar anaknya tidak mengalami fobia yang sama. “Tapi kalau diingat, jarang sekali ada pisang dan rambutan di rumah saya,” kata Eyi lagi, sambil tertawa. Kalaupun suaminya ingin makan rambutan, maka ia akan makan di teras rumah.
Begitu juga Zeti, ia tak mau menunjukkan fobianya pada semua orang. “Kalau bisa saya tidak mengaku. Malu,” kata Zeti, sambil tertawa. Di depan anak-anaknya pun demikian.

TAK BISA ATAU TAK MAU?

Ketiga wanita ini mengaku terganggu dengan fobia mereka Donita, misalnya, pernah mencoba melawan ketakutannya, dengan berhadapan dengan ambulans dan bunyinya. Namun, hasilnya nihil. Ia lemas dan sangat ketakutan. Kalau mau jujur, melihat mobil-mobilan ambulans saja, Donita takut setengah mati. “Keinginan sembuh kalah besarnya dari ketakutan saya. Saya takut, kalau disembuhkan, saya mesti dihadapkan pada benda itu dulu,” kata Donita.

Begitu juga Zeti. Fobianya pada ketinggian di dalam pesawat, cukup membuatnya repot, mengingat ia termasuk orang yang sering bepergian. Namun, ia mengatasinya dengan berbagai cara. “Saya lawan saja sebisanya. Misalnya, saya selalu membawa obat antimabuk saat harus terbang dalam jangka waktu lama. Maksudnya, supaya saya tertidur. Kalau di dalam negeri, saya memilih terbang dengan pesawat paling pagi, supaya saya masih ngantuk di pesawat dan bisa tidur dengan sendirinya,” kata Zeti.

Zeti percaya, fobia tetap bisa dikontrol oleh diri sendiri. Ia pernah membuktikannya. Suatu kali ia harus memperagakan baju pengantin, dan ia menjadi peragawati yang menutup acara. Zeti diharuskan tampil dari atas (di atas kepala penonton). Ia menggunakan sling yang dililitkan di tubuhnya, lalu ’diterbangkan’ dari ketinggian di atas Gedung Arsip menuju ujung panggung.

“Saat menerima tawaran itu, saya sempat ragu. Lalu saya pikir, saya harus profesional, sekaligus bisa saya kenang sebagai hasil kerja terbaik,” kata Zeti. Namun, Zeti menolak latihan, karena ia khawatir, jika latihan dan ia ketakutan, ia akan membatalkan penampilannya.

“Saya pikir, saya masih bisa mengendalikan fobia saya pada rambutan. Fobia saya kumat hanya kalau sedang musim saja. Pokoknya, saya, sih, nggak mau sampai mengeluarkan dana untuk menyembuhkan fobia saya itu,” tambah Eyi, yang mengaku masih bisa menikmati rambutan yang menjadi fobianya, asalkan rambutan kaleng. Sambil bercanda Eyi mengaku bersedia fobianya disembuhkan dengan hipnoterapi, jika gratis.

Penulis: Asteria Elanda
Dari femina 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | kokar wika Template | kokar Template
Proudly powered by kokar wika
Copyright © 2011. Kokar WIKA - All Rights Reserved
Template Design by Safetyk3 Website Published by Kokar Template